Selasa, 24 Januari 2012

CERITA RAKYAT

CERITA LEGENDA RAKYAT REJANG LEBONG
“MUNING RAIB”
Oleh 
JUMIRAWARLIZASUSI, M.Pd

            Kisah ini menceritakan tentang seorang pemuda bernama Malim Bagus berasal dari Dusun Curup yang terkenal pendiam tapi  ceroboh,  dilahirkan seorang ibu yang penyayang dan sabar terhadap anaknya dengan seorang suami yang temperamental.

            Di Balai Desa, pertunjukan tari Kejei sedang berlangsung. Para penari yang terdiri dari laki-laki dan perempuan menari dengan gerakan yang lambat namun khidmad, diiringi irama musik kelintang yang mengalun dengan indah. Pesta Kedurai Agung pada malam itu benar-benar meriah, banyak masyarakat berkumpul di Balai Desa Dusun Curup, merayakan acara syukuran desa. Tak ketinggalan pula keluarga Labar dan Sauna, dengan anaknya yang sudah menjadi bujang yaitu Malim Bagus dan Malim Jayo.
            Malim Bagus asyik memperhatikan meja penei  yang berada di tengah-tengah penari. Para penari mengelilingi meja tersebut sambil menari dengan lemah gemulai. Di atas meja itu terdapat pisang mas, buah pinang, daun sirih, daun sitawar sidingin, daun beringin, tebu hitam dan parang. Semua atribut itu digantung di atas meja dan di atasnya berdiri payung kuning.
            Kemudian pandangan matanya beralih pada anak sangei yang cantik-cantik. Tiba-tiba seorang pemuda menghampirinya.
            “Malim, kau dipanggil ayahmu dan ditunggu di sana !” laki-laki tersebut menunjuk ke arah tempat duduk yang cantik-cantik. Tiba-tiba seorang pemuda menghampirinya.
            “Malim, kau dipanggil ayahmu dan ditunggu di sana !” laki-laki tersebut menunjuk ke arah tempat duduk ayah Malim berada. Dari kejauhan dilihatnya ayahnya sedang berbincang-bincang dengan keempat pamannya yang bernama Latar, Sitar, Ali Jayo, dan Ali Menang.
            Malim Bagus mendekati ayahnya dan ikut duduk bersila dengan paman-pamannya. Ia menyalaminya satu persatu, lalu menanyakan perihal panggilan ayahnya.
            “Malim, malam ini kau bertugas sebagai jenang, nanti setelah pertunjukan tari Kejei selesai, kau bantulah jenang yang lain untuk menghidangkan makanan” perintah ayahnya yang sangat berwibawa itu.
            “Baik, Ayah. “ jawab Malim Bagus patuh. Lalu ia kembali ke tempat duduknya semula dan bergabung dengan kawan-kawannya.
            Tak lama musik kelintang pengiring tari Kejei pun berhenti, pertanda tarian itu sudah berakhir. Malim Bagus beranjak dari tempat duduknya, dan bergabung dengan jenang yang lain. Ia mengambil sebuah talam, ikut menyusun hidangan ke atas talam, menatingnya ke hadapan tamu-tamu yang duduk bersila dan membuat kelompok-kelompok. Setelah beberapa kali meletakkan hidangan di depan tamu, ia dapat mengerjakannnya dengan baik. Namun setelah menyajikan di depan ayahnya, kakinya tersandung sesuatu, sehingga ia jatuh tersungkur mengakibatkan talam yang berisi air cuci tangan itu tumpah ruah. Hal ini membuat ayahnya marah besar karena dipermalukan anaknya yang ceroboh. Ayahnya menyuruh Malim Bagus pulang ke rumah, tanpa diizinkan lagi menyaksikan acara itu.
            Semenjak kejadian malam itu Malim Bagus selalu dimarahi ayahnya, semua yang dilakukan Malim Bagus serba salah. Tidak tahan menghadapi ayahnya, Malim Bagus memutuskan untuk pergi dari rumahnya.
            Saat pamit ia sebenarnya sedih meninggalkan orang-orang yang dicintainya yaitu ayah, ibu dan adiknya Malim Jayo, namun demi ketenangan di rumahnya maka ia mengalah, menghindari keributan.
            Sebelum berangkat ia berpesan pada adiknya : “Malim Jayo, kalau kau kelak mencariku, telusurilah pohon dan ranting yang sudah kutebang sepanjang perjalananku dan bunyikanlah lagu kesayangan kita dengan ginggongmu.”
            “Baiklah, Kak. Akan kuikuti perkataanmu. Hati-hatilah di jalan.” Pesan adiknya. Ibunya tidak tahan membendung air matanya. Isak tangispun melepas kepergian Malim Bagus. Tak ada bekal lain yang dibawanya selain parang, ginggong dan baju sehelai di badan. Malim Bagus pamit pada salah satu pamannya Adi Jayo, ia mohon doa restu.
            Sepanjang perjalanan ia memotong pohon-pohon dan ranting-ranting kayu yang mengganggu dengan parangnya yang telah diasah terlebih dahulu.
            Perjalanan yang tak tentu tujuan itu, ternyata melelahkan Malim, hingga sampailah ia pada sebuah bukit, ia duduk di atas sebuah anggung membunyikan ginggongnya sebagai pengobat lelahnya. Ia membawanya ke sebuah istana dalam bukit tersebut. Iapun menikah dengan penghuni bukit itu.
            Sepeninggal Malim Bagus, ibunya jatuh sakit karena selalu memikirkan anaknya. Matanya sulit terpejam dan tidak mau makan. Pada suatu, kala ia bisa tidur nyenyak ia bermimpi bertemu dengan anaknya di sebuah bukit di balik bukit.
            Keesokan harinya, dipanggilnyalah anaknya Malim Jayo, diceritakannya mimpinya.
            “Kakakmu masih hidup, dia sekarang berada di dataran arah matahari hidup, di balik bukit ada bukit. Kau carilah dia di sana. Kau katakan padanya bahwa dia harus pulang, kalau dia sudah kawin bawalah sekalian istrinya. Kita akan mengadakan pesta perkawinannya.”
            “Ibu, demi kesehatan ibu apapun akan aku lakukan. Aku akan mencari kakak ke sana. Doakan agar aku berhasil membawa pulang kakakku. Aku pergi bu, Assalammualaikum.” Malim Jayo pamit sembari mencium tangan ibunya.
            Parang dan ginggong menyertai kepergian malim Jayo sesuai pesan kakaknya, ia telusuri dengan mudah jalan-jalan yang dilalui kakaknya karena ditandai oleh ranting kayu dan pohon-pohon yang masih berserakan di jalan.
            Sampai pada tujuan seperti yang disebutkan ibunya, yaitu pada sebuah bukit  di balik bukit, ia duduk di atas sebuah anggung, persis di tempat kakaknya duduk betarak. Malim Jayo memainkan ginggong miliknya dengan lagu kesayangan kakaknya
            Sayup-sayup suara ginggong itu terdengar oleh Malim Bagus. Ia kaget mendengar suara alunan ginggong adiknya. Ditemuinyalah adiknya itu, dan dibawanya ke istana tempat ia tinggal. Heran Malim jayo melihat keadaan kakaknya, seolah tidak percaya terhadap apa yang dilihatnya.
            Diutarakanlah maksud kedatangan Malim Jayo dan diceritakan keadaan ibunya yang jatuh sakit karena memikirkan kakaknya. Malim bagus semula tidak mau pulang, namun setelah dirundingkan dengan istrinya, akhirnya disanggupinya keinginan ibunya.
            “Baiklah, aku dan istriku akan pulang saat purnama akan muncul. Persiapkanlah pesta pernikahan kami, dengan catatan jangan sekali-kali memasak sayur pakis dan rebung, karena makanan itu merupakan pantangan istriku.”
            “Baiklah, Kak. Akan aku sampaikan semuanya pada ayah dan ibu di rumah. Kami benar-benar sangat mengharapkan kepulangan kakak bersama kakak ipar”. Malim Jayo akhirnya pamit pulang menemui orang tuanya.
            Sampai di rumah, didapatinya ibunya masih terbaring di atas tempat tidur bambu, badannya semakin kurus saja. Ayahnya sedang menunggui ibunya. Malim Jayo lalu menceritakan pertemuan dengan kakak dan istrinya. Bukan main senang hati ibunya mendengar anaknya yang sulung itu akan pulang dengan membawa istrinya. Malim Jayo juga menceritakan menceritakan pantangan kakak iparnya itu agar tidak memasak sayur pakis dan rebung selama berada di rumah orang tuanya ini. Serta merta ibunya sembuh dari sakitnya dan memerintahkan ayahnya untuk berunding dengan tuei dan kutei guna merencanakan pesta pernikahan anak pertamanya itu yang akan dilaksanakan secara adat saat bulan purnama akan muncul.
            Setelah kata sepakat dicapai, maka diumumkanlah kepada masyarakat bahwa Malim Bagus yang telah pergi akan pulang dengan membawa calon istrinya. Namun perihal larangan yang diungkapkan Malim Bagus dirahasiakan mereka kepada orang lain.
            Ketika bulan purnama akan muncul, masyarakat sibuk bergotong royong mempersiapkan acara pernikahan keluarga  Labar itu. Kaum lelaki mencari kayu dan membuat tarub sedangkan kaum wanita mencari bahan-bahan masakan di hutan. Karena ketidaktahuannya, mereka juga mengambil sayur pakis dan rebung yang mereka dapati di hutan dan kemudian memasaknya.
            Akhirnya saat yang dinanti-nantikan tiba, Malim Bagus muncul ke rumahnya yang sudah dipenuhi banyak orang. Namun saat ia sampai di pintu pagar semua orang merasa heran, karena belum juga melihat istri Malim Bagus.
            “Malim, mana istrimu?” tanya ibunya setelah disalami anaknya.
            “Ini istriku yang sedang menggamit lenganku.” Jawab Malim Bagus.
            Ibunya dan orang-orang keheranan karena melihat Malim Bagus muncul tidak didampingi istrinya, yang bisa melihat itu hanyalah Malim Bagus, karena istrinya adalah makhluk halus berupa dewa.
            Akan tetapi setelah sampai di pintu rumah, istrinya menjelma menjadi makhluk kasar berupa manusia yang berwajah cantik, berkulit putih mulus dan tinggi semampai. Penganten wanita itu menggamit lengan malim Bagus dengan mesra dan tersenyum ramah pada semua orang yang hadir di situ.
            “Malim, cantik sekali istrimu!” kata ibunya. Orang-orang saling berebut ingin menyaksikan istri Malim yang cantik dan berdecak kagum seolah tidak percaya terhadap apa yang mereka lihat.
            Upacara perkawinan secara adatpun dilaksanakan dengan baik. Penganten wanita diminta harus melangkahi sarung mertua laki-laki yang diberikan padanya sebanyak tiga kali, dan itu bisa dilaksanakannya dengan baik. Setelah mengikuti serangkaian upacara sakral itu, kedua penganten dipersilahkan untuk makan.
            Hidangan diletakkan di depan penganten. Penganten wanita menuangkan nasi ke piring yang tersedia, kemudian membuka tutup tempat sayur yang terbuat dari kayu dan bermaksud untuk mengambilnya. Alangkah kagetnya ia melihat ada sayur pakis dan rebung. Ia langsung menutup kembali sayur itu.
            “Kak, berarti kau dan  keluargamu tidak sayang padaku. Sudah kukatakan padamu apa yang menjadi pantanganku, namun diindahkan. Untuk itu kuucapkan selamat tinggal”.
            Setelah itu istrinya terbang ke angkasa dan menghilang meninggalkan suaminya. Semua mata tertuju pada istrinya sampai tidak tampak lagi wujudnya.
            “Tunggu aku istriku. Aku akan ikut kemanapun kau pergi” Malim Bagus berteriak memanggil istrinya, kemudian Malim sambil berlari melambaikan tangannya kepada keluarganya dan semua orang  yang hadir di situ. Ia tidak lagi memperdulikan orang tua dan adiknya yang berteriak menahannya pergi. Ia menyusul istrinya ke bukit tempat istana dimana istrinya berada. Bukit itu sekarang dikenal dengan Bukit Kaba.
            Setelah Malim Bagus pergi meninggalkan hajatan pernikahannya, masyarakat menertawakan Labar dengan sinis, karena kedua penganten tidak lagi berada di tengah-tengah mereka, telah melarikan diri. Lebih sakitnya lagi, Labar  diolok-olok mempunyai menantu orang bunian atau makhluk halus. Tamu-tamupun satu persatu meninggalkan rumahnya dengan perasaan kecewa.
            Merasa sudah dua kali dipermalukan anaknya itu, Labar marah sekali. Lalu ia mengajak saudara-saudaranya Latar, Sitar, Ali Jayo dan Ali Menang ke sebuah sungai di Air Duku dengan membawa sesajian. Di sana mereka membakar kemenyan di atas dupa dan mengucapkan sumpah serapah itu, sesajian dihanyutkan ke sungai Air Duku. Hingga sekarang masih diperhatikan mitos larangan bagi bujang gadis yang berasal dari Dusun Curup dilarang menaiki Bukit Kaba karena ketakutan mereka akan kehilangan putra-putrinya seperti raibnya Muning (paman) mereka.
            Demikianlah kisah legenda Muning Raib artinya hilangnya seorang paman di Bukit Kaba.
Closarium :
- kedurai agung : pesta syukuran desa dalam menyambut panen tiba
- meja penei      : meja tempat meletakkan hasil pertanian yang
                           melambangkan kemakmuran rakyat Rejang Lebong
                           seperti sirih, pinang, pisang mas, daun beringin, tebu
                           hitam. Selain hasil pertanian tadi juga terdapat tombak,
                           pedang, payung kuning dan bokor sirih.
- anak sangei    : penari wanita
- jenang            : laki-laki yang menghidangkan jamuan
- ginggong        : sejenis alat musik tiup tradisi  yang terdiri dari logam
- anggung         : sebuah batu besar
- betarak           : bertapa
- tuei                 : tokoh masyarakat
- kutei               : ketua adat
- tarub                : balai-balai

Pendidikan :
SD N 4 Sw. Lunto                                                                                      
 SMP N Sw. Lunto
            SMA N Sw. Lunto
            ATIP Padang
            D3 IKIP Padang
            S1 IKIP Yogyakarta
            S2 UNIB Bengkulu
Pengalaman Pekerjaan :
            Guru SMA N 5 Curup
            Guru SMA N 1 Curup
            Kabid PSB Disparbud Kab. Rejang Lebong
            Guru SMA N 2 Curup
Karya Seni :
            Tari Bumei Paneas
            Tari Selendang
            Tari Mae Munen
            Tari Tabeak Menyoloah
            Tari Tekukung
            Tari Kain
            Tari Indok
            Tari Keme Begendang
            Lagu Mars SMA N 1 Curup
`           Lagu Mars SMA N 2 Curup
            Puisi Jeritan Hati Anak dari Langit
            Cerpen Kala Anggrek Berbunga
            Cerpen Takdir Syafina
            Cerpen Tebo Kabeak
Pengalaman Kesenian :
            Penata Tari Gelar Budaya Rejang Lebong di TMII Jakarta (2000)
            Penata Tari Pergelaran Budaya Bengkulu di Ancol (2001)
            Penata Tari Gelar Budaya Nusantara di Senayan Jakarta (2002)
            Penata Tari Pekan Desember di TMII Jakarta (2002)
            Penata Tari Gelar Budaya dan Pameran Persatuan di Senayan Jakarta (2003)
            Penata Tari Festival Wali Songo di GEC Yogyakarta (2003)
            Penata Tari Pekan Desember di TMII Jakarta (2003)
            Penata Tari Festival Nusa Dua Bali (2003)
            Penata Tari STQ Nasional (2004)
            Penata Tari Melayu Serumpun (2004)
            Penata Tari Masal MTQ Prop. Bengkulu (2005)
            Penata Tari Demalem Nak Taneak Jang  di Jakarta (2005)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar